Selasa, 19 Oktober 2010

PENGUSAHA ROTI

Karena gemar roti dan jenuh berkarier sebagai profesional, mantan eksekutif puncak ini mendirikan kafe berbasis roti. Ia kembangkan jaringan kafenya dengan pola waralaba dan pola operator.
Sikap low profile dan tak banyak bicara membuatnya tak begitu dikenal publik. Namun, siapa sangka di balik kebersahajaan itu, tersimpan semangat besar untuk mandiri, menciptakan sesuatu yang baru dan total. Pria berkulit terang itu kini memiliki 20 gerai bakery cafe dan bakery express dengan nama Daily Bread Bakery Cafe (DBBC), yaitu merek ciptaannya sendiri yang kemudian diwaralabakan.
Delapan tahun Eddy Sutanto berjuang keras membangun dan mengembangkan DBBC. Kini, pemilik sekaligus CEO PT Adirasa Selaras Abadi, perusahaan yang menaungi DBBC ini merasa bersyukur. Meski enggan menyebut omset, Eddy mengklaim kinerja DBBC saat ini mencapai 20 kali lipat dibandingkan pada 1996, saat DBBC diluncurkan ke pasaran. Itulah sebabnya sejak 2003 ia berani mewaralabakan kafe ini. Begitu optimistisnya, di tahun 2004 ia menargetkan menambah sekitar empat bakery cafe plus 40 bakery express.
Keberhasilan Eddy di bisnis kafe roti menarik diamati, lantaran pria bersuara bariton ini sebelumnya tak memiliki latar belakang bisnis roti ataupun kafe. Satu-satunya alasan ia berbisnis kafe roti adalah karena sejak kecil ia menyukai roti. “Saya lebih banyak makan roti daripada makan nasi,” ujarnya. Yang lebih mengherankan, keputusannya berkonsentrasi di bisnis barunya ini dilakukan ketika ia sedang berada di puncak kariernya, yakni sebagai Direktur
Keuangan dan Pengembangan Bisnis sebuah perusahaan perkebunan. “Belasan tahun saya berkarier sebagai eksekutif sampai posisi terakhir,“ ujarnya. Kariernya yang panjang sebagai eksekutif justru mendorong pria berbadan atletis ini memulai sesuatu yang baru. “Waktu itu (tahun 1996) saya berusia 40 tahun. Saya pikir masih ada kesempatan membangun usaha baru,” ungkapnya. Pilihan keluar dari perusahaan tak bisa ia elakkan lantaran ia merasa tidak fair jika ia mengembangkan usaha baru, tapi masih bekerja di perusahaan lama. Alasan lain, “Saya tak ingin setengah-setengah,“ ujarnya. “Ini memang sebuah pertaruhan,” tambahnya.
Sebelum mengembangkan kafe roti, sebenarnya Eddy sempat ditawari seorang rekan mengambil waralaba dari perusahaan besar di Amerika Serikat. Maklum, waktu itu di Jakarta bisnis berpola waralaba sedang mewabah. Hitung punya hitung, ia mengambil kesimpulan bahwa baik membeli waralaba maupun mendirikan usaha baru punya kesamaan, yakni sama-sama membutuhkan modal, waktu dan tenaga besar. Namun, waralaba punya kelemahan, yakni tak memiliki merek yang bersangkutan. “Akibatnya, jika suatu ketika merek itu besar, lalu ingin dikembangkan, pasti akan kesulitan, karena merek itu bukan milik kita,” ujarnya. Kalau merek sendiri? “Ya, banyak capek-nya,“ ujarnya lagi. Meski dinilai lebih melelahkan, dengan alasan lebih strategis ia memilih meluncurkan merek sendiri. Bersama seorang temannya, Eddy menginvestasikan dana Rp 3-4 miliar untuk membuka bisnis ini. “Kebanyakan untuk working capital,” ujarnya. Dana sebesar itu sudah termasuk biaya men-setup sistem, menyewa tempat, menyediakan infrastruktur, perlengkapan, menyewa pabrik dan sebagainya. Guna men-set up sistem dasar semacam manajemen operasional, Eddy menyewa jasa konsultan dari Inggris yang berpengalaman 35 tahun di bisnis ritel dan roti. Ia juga mendatangkan seorang ahli pembuat roti dari Belgia, agar bisa membuatkan resep roti istimewa untuk merek barunya itu.
Menurut Eddy, sebagai kafe, DBBC memang lebih dikonsepkan sebagai kafe yang menghidangkan roti ketimbang kedai minum (walaupun di situ juga disediakan minuman seperti kopi). “Yang ditekankan pada DBBC adalah mutu roti yang berkualitas, dan harga makanan dan minuman yang lebih masuk akal,” ungkapnya. Ia mencontohkan, harga secangkir kopi cappucino di kafe waralaba asing mencapai Rp 25 ribu, sedangkan di DBBC hanya Rp 10-11 ribu.
Pemilihan lokasi kafe roti di perkantoran bukanlah tanpa alasan. Menurut Eddy, hal ini merujuk pada pengalamannya sebagai eksekutif, yang biasanya tiba di kantor pada pagi hari dan membutuhkan sarapan yang cepat dan ringan. “Saya pikir office building membutuhkan fasilitas yang menunjang,” ujarnya. Penggunaan kata “daily’“ dalam merek kafenya itu, menurutnya juga terkait dengan fungsinya, yakni membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari para eksekutif.
Kendati diposisikan sebagai kafe perkantoran, gerai DBBC yang pertama justru ada di Mal Pondok Indah. Luasnya sekitar 100 m2 dengan 80 kursi. “Tapi, ini lebih untuk exposure, supaya dikenal masyarakat,” ujarnya. Setelah itu, gerai DBBC lainnya dibuka di perkantoran. Menurut Eddy, tantangan terbesarnya adalah penyediaan sumber daya manusia. “Karena industri baru, kesiapan SDM di bidang ini tak sematang bidang industri yang lain,” katanya. Itulah sebabnya, ia sering menyelenggarakan pelatihan bagi SDM-nya. “Kami ingin memperbaiki kinerja mereka dengan membuka mindset mereka,“ ujarnya.
Operasi awalnya dirasakan Eddy cukup berat karena kebanyakan orang belum mengenal DBBC. Padahal di sisi lain persaingan cukup tinggi. Ini terlihat dari omset di bulan-bulan pertama, yang hasilnya jauh dari harapan. Namun, menurutnya ini wajar. “Ketika orang pertama kali melihat suatu produk, mereka akan mempertanyakan bagaimana kualitasnya,” ujarnya penuh pengertian. Toh, ia mengaku tetap optimistis bahwa masyarakat yang makan nasi cenderung menurun, sebaliknya mereka yang makan terigu atau gandum akan meningkat. “Mungkin hal ini disebabkan karena tingkat perekonomian masyarakat yang semakin meningkat sehingga mempengaruhi kebiasaan makannya juga,” ujarnya.
Meskipun menyadari brand awareness DBBC masih rendah, Eddy tak berpromosi. Ia malah memilih menambah gerainya. “Bagi saya, daripada memasang iklan lebih baik membuat store yang banyak,” ujarnya. Ia memang meyakini, dengan gerai yang makin banyak, konsumen akan mengenal DBBC juga. Dengan keyakinan seperti ini, pada tahun pertama (1996), Eddy membuka tiga gerai sekaligus (September, Oktober, November 1996). Gerai pertamanya, selain di Mal Pondok Indah, juga di Gedung BRI II dan Bursa Efek Jakarta. Hingga 1997, total ia telah membuka 7 gerai termasuk di Setiabudi Building, Sentra Mulia, DeutchBank dan Plaza Chase. Namun karena terjadi krisis moneter, ia terpaksa menghentikan ekspansinya. Maklum, jika sebelumnya untuk membuka satu gerai hanya membutuhkan dana Rp 75 juta, setelah krismon diperkirakan memerlukan dana investasi Rp 200 juta. “Jadi, saya mencoba lebih memperbaiki (kualitas) ke dalam,” ujarnya. Toh, masa krismon tak selalu berarti jelek. Sebaliknya, angka penjualan di gerai-gerainya malah meningkat. “Sehingga apa yang tadinya kami harapkan, mulai terlihat,” ujarnya tanpa mau mengungkapkan nilai omsetnya. Ia menduga, lonjakan kehadiran konsumen ke gerai-gerainya karena adanya perubahan sikap dalam membeli makanan, terutama mencari harga yang lebih reasonable. “Mungkin tadinya mereka biasa sarapan pagi di hotel,” katanya. Menariknya, fenomena ini berlaku umum, sehingga omset semua gerainya relatif hampir sama. Toh, Eddy mengaku selama krismon ia sebenarnya juga mulai rajin memasarkan DBBC ke kantor-kantor yang terletak satu gedung dengan mereka. Tak terkecuali, ke pihak manajemen gedung. Salah satu bentuknya, penawaran jasa katering.
Selain bisnisnya ini cukup lancar, pada tahun 2004 Eddy telah memiliki total sekitar 20 gerai di seluruh Indonesia, yang terdiri dari 13 gerai bakery cafe, satu gerai just bakery (hanya ada di Hero), dan 6 gerai express bakery. Gerai just bakery dan express bakery mempunyai konsep sama, yakni toko roti dengan ukuran relatif kecil. Biasanya gerai ini diperuntukkan bagi konsumen yang ingin membeli roti tanpa harus duduk berlama-lama. Jadi, berbeda dari konsep bakery cafe. Ke depan, Eddy lebih berniat memperluas jaringan gerai DBBC dalam bentuk gerai just bakery daripada bakery cafe.
Untuk mendukung gerai-gerainya ini, Eddy menyewa pabrik pembuatan roti yang memiliki kapasitas terpasang sehari mencapai 22 ribu potong roti tawar dan 20-an ribu potong croissant, pastry, dan semacamnya. Kapasitas terpakai roti tawar sudah mencapai sekitar 50%. Adapun croissant, dll mencapai kapasitas terpakai 90%. Dalam waktu dekat, Eddy juga berencana meluncurkan gerai yang memiliki konsep sedikit berbeda dari gerai-gerai yang sudah ada. “Tapi, belum bisa ungkapkan karena sedang saya matangkan konsepnya,” ujarnya. Yang pasti, katanya sedikit membuka, letaknya tidak di gedung perkantoran atau mal, tapi sendiri di suatu bangunan yang berada di tempat strategis. “Rencananya ini akan menjadi model dan awalnya kami biayai sendiri. Karena, tidak mungkin orang lain dijadikan kelinci percobaan dulu,” ujarnya sambil tertawa lebar.
Yang juga menarik diamati, sejak 2003 DBBC sudah berani menawarkan pola waralaba. “Ini merupakan cara yang cepat untuk mengembangkan DBBC,” ujarnya. Dijelaskan Eddy, sebenarnya mereka memiliki dua bentuk kerja sama, yakni pola waralaba dan pola operator. Pola waralaba sudah cukup dikenal orang. Adapun dalam pola kedua, mitra tak akan dikenakan royalti. Yang berlaku di sini, si mitra mendapat bagian keuntungan dari jasa pengelolaan gerai DBBC. Di sisi lain, si mitra harus melakukan investasi dalam penyediaan tempat, sedangkan desain, sistem dan pasokan roti diberikan oleh DBBC. Perbedaan lain, estimasi revenue sharing yang bakal diterima si mitra pada pola operator lebih kecil daripada yang menggunakan pola waralaba. Sudah begitu, si mitra juga hanya bisa mengoperasikan satu gerai.
Berbeda dari pola waralaba, pola operator baru akan ditawarkan kepada masyarakat. Nilai investasinya diperkirakan sekitar Rp 250 juta, dengan ketentuan: yang bersangkutan harus menyediakan deposit senilai Rp 50 juta kepada DBBC, yang bakal dikembalikan. Adapun lamanya waktu sebagai operator, 3-5 tahun, tergantung wilayahnya. Khusus di Jakarta, DBBC tak menawarkan pola waralaba, sehingga kerjasama yang dimungkinkan hanya pola operator. Alasannya, untuk wilayah Jakarta, manajemen DBBC bisa menangani sendiri.
Kota-kota lain yang menjadi target pasar pengembangan DBBC adalah Bandung dan Yogyakarta. Di Kota Kembang, Eddy sudah memiliki gerai di Bandung Supermall. Bagi para mitra, DBBC kini memang cukup menarik digandeng. Tengok saja Dwi, pemegang hak waralaba DBBC di Surabaya. Menurut Dwi, ada beberapa alasan kenapa ia memilih DBBC. Pertama, rasa rotinya enak. “Saya tadinya pelanggan DBBC. Saya suka dan merasa nyaman. Padahal, tadinya saya bukan penggemar roti,” ujarnya. Kedua, konsepnya, yang mengutamakan roti sebagai produk utama. “Di tempat lain, mungkin kopinya yang diutamakan. Saya lihat belum ada kafe seperti DBBC,” ujarnya. Ketiga, pemiliknya harus full timer. “Saya merasa lebih nyaman. Karena, dengan demikian ia lebih bertanggung jawab jika terjadi sesuatu hal pada bisnis ini. Jadi, ada full commitment,” ujarnya. Keempat, yang menurutnya terpenting, harga waralabanya kompetitif. Sebagai perbandingan, Dwi mengungkapkan, harga waralaba DBBC sekitar Rp 1 miliar, sedangkan kafe lain (misalnya Gloria Jeans Coffee) mematok harga waralaba Rp 1,5 – 2 miliar.

http://pojokniaga.wordpress.com/2009/08/29/eddy-sutanto-daily-bread/.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar